SEBALIK BINTANG FAJAR
#LOOCALISM : 1st WRITING EVENT
; ⚠️ cerita merupakan bagian dari partisipasi event dan tidak memiliki hubungan dengan plot utama ⚠️
Pria berusia 59 tahun itu masih saja sibuk dengan Teleskop Zeiss berdiameter 0,6 meter sejak empat jam yang lalu. Netranya terus tertuju pada lensa ganda yang kini tak mampu menangkap pekatnya langit.
Tampak raut frustasi dari wajahnya, ia menghela napas dan berjalan mundur, melepas fokusnya dari teleskop legendaris itu. "Tidak bisa."
"Apanya yang tidak bisa?" tanya sang gadis yang sejak tadi memilih bungkam.
"Manusia terlalu bodoh. Padahal mereka tahu kenapa observatorium ini didirikan jauh dari perkotaan, di tengah distrik tanpa sedikit pun lampu di sekitarnya. Lihat? Bahkan teleskop berlensa ganda yang biasa kubanggakan itu terhalang sorot cahaya dari ujung sana," tutur Subagya dengan air muka penuh kecewa, ia lantas melangkah menuju sudut ruangan, menutup kubah dan menyudahi pengamatannya yang berujung sia-sia.
"Transit Venus sebentar lagi, butuh waktu seratus sepuluh tahun untuk mendapat posisi yang sama, itu artinya Transit Venus sebelumnya terjadi pada tahun 1910, tepatnya di langit California. Kita sebagai satu-satunya program studi astronomi di Asia Tenggara, seharusnya memiliki riset untuk diletakkan di sudut sains universitas ini," jelasnya sembari membuka lembaran buku astronomi berjumlah 621 halaman itu.
"Jadi … maksud Bapak kita harus meneliti ke California dan datang ke lokasi?" tanya Aira tak yakin, ia menatap dosennya dengan tatapan bingung, "kenapa tidak menunggu hasil pengamatan dari NASA?" lanjutnya. Kemudian dengan cepat Subagya menjawab, "maksud saya, kalau kita meneliti sendiri, lebih mudah untuk merangkai peristiwanya, bukan? Sebab kita yang meneliti akan jauh lebih memahami deretan peristiwa dari pada menunggu hasil riset dari NASA."
• • •
"Hi, what are you doing in here, girl? Saya baru pertama kali melihat manusia menginjak hutan ini," ujar wanita berparas anggun itu, kakinya jenjang, pakaiannya hitam disertai warna merah di beberapa bagian, terpasang jubah yang tampak hangat di belakangnya. Sejenak Aira berpikir, manusia? Memang dia ini siapa?
Namun gadis belia itu berusaha tak menghiraukan pertanyaan yang terkurung dalam otaknya sekarang. Ia beralih menatap netra tajam wanita di hadapannya. "Uhm … maaf, Nyonya. Saya mendapat tugas untuk mengunjungi wilayah Hearst Castle ini untuk program studiku. Apa saya salah mendapat alamat?" tanyanya sembari menunjukkan kertas usang berisi lokasi spesifik dari tempat yang kini dipijaknya.
"Nyonya?" panggil Aira saat menyadari sang puan tak merespon dan malah menatapnya dengan tatapan aneh, seketika yang dipanggil terperanjat. "Ya? Oh, jangan panggil saya dengan sebutan itu, cukup panggil Kirandhya."
Aira mengangguk pelan, kemudian memberanikan diri untuk kembali bersuara, "maaf, boleh saya minta bantuan kamu untuk mengantar saya? Kamu penduduk di sini, kan? Saya takut salah jalan," tukasnya menatap Kirandhya penuh harap. Sungguh, dia datang ke sini hanya untuk mengamati Sang Bintang Fajar laksana noktah hitam yang melintasi piringan Matahari, bukan untuk mendatangi tempat mengerikan yang suasananya seolah berkata bahwa tempat itu amat sangat keramat untuk didatangi.
Tiba-tiba, seekor burung hitam lewat begitu saja dengan kepakan sayap yang berhasil membuat gadis itu terperanjat, dengan gerakan tak sadar ia mencengkram jubah Kirandhya di sebelahnya. Lihatlah, makhluk itu seolah tak merasa takut sama sekali, bahkan tampak tangannya tadi ingin memangsa burung hitam yang baru saja lewat, namun mengurungkan niatnya.
Aira terus merajut langkah, mengikuti Kirandhya yang menuntunnya entah menuju ke mana. Ia hanya menyebutkan ke mana dirinya harus diantar sebelumnya. Sementara Yudha di belakang terus membisu sembari pandangan matanya melirik ke seluruh penjuru. Detektif itu punya insting kuat, mungkin karena pengalamannya mengupas berbagai kasus. Tapi satu yang membuat Aira kebingungan, untuk apa Subagya meminta pamannya si detektif sewaan dalam pengamatan sebuah program studi? Aira benar-benar tak mengerti jalan pikiran pria tua itu.
"Saya melihat lemari buku di sana." Akhirnya Yudha bersuara, tangannya menunjuk ke arah lemari usang yang tampak tak terurus, di dalam bangunan yang sama terbengkalainya. Tampaknya Kirandhya kebingungan melihat seorang anak kuliahan yang diminta meneliti di tempat seperti ini. Hey, sepengetahuannya, tempat ini bahkan bukan untuk dikunjungi, apa lagi untuk diteliti.
Karena rasa takut sekaligus penasarannya, Aira tetap bergerak menuju lemari yang dimaksud tanpa melepas genggaman pada jubah Kirandhya, mungkin wanita itu sudah merasa tak nyaman sekarang. Subagya berpesan, temukan sebuah lemari di bangunan yang ia tunjuk melalui titik koordinat di ponsel. Akan ada alat yang membantunya untuk mengamati peristiwa Transit Venus yang entah benar terjadi atau tidak malam ini.
"Aku melihat sebuah tulisan," celetuk Kirandhya tiba-tiba, membuat Aira mengalihkan pandangannya pada sang puan. Kirandhya bergerak melangkah dan meraih kertas yang sama lusuhnya dengan peta yang Aira berikan tadi. Ia mengernyit ketika melihat tulisan acak yang sama sekali tak bisa dibaca selain angka tujuh.
"fpfs fif 7 twfsl dfsl rfyn, pfrz rzsizw fyfz rfoz ifs rjsofin dfsl xjqfsozysdf."
Kirandhya menoleh ke arah gadis di sebelahnya, mengisyaratkan bahwa ia bertanya apakah dirinya sendiri paham arti tulisan itu. Aira menggeleng pelan, membuat Kirandhya kembali menghela napas.
Karena berdiri terlalu lama, Aira bergerak mendekat ke arah lemari, menumpukan tangan kanan ke dalam bilik. "Bagaimana?" tanyanya kemudian. Tanpa sadar, tindakannya membuat lemari itu bergeser, memperlihatkan sebuah ruangan gelap nan kusam di dalamnya, hanya tampak obor di sudut yang membuatnya dapat melihat sedikit isi dari ruangan itu.
"Ruang rahasia, huh?" gumam Kirandhya seraya bergerak maju untuk melihat isi ruangan. Namun ia kembali melirik pada Aira, gadis itu tampaknya ketakutan, bahkan kini tangannya sudah mendekap Kirandhya tanpa sadar, membuat wanita itu mengumpat pelan karena penciuman tajamnya mulai menangkap bau darah. Seumur hidup, tak pernah dirinya mengunjungi tempat keramat yang berujung terjebak bagai tanda bahwa ajal akan segera menjemput.
"Kau melihat sesuatu?" tanya Kirandhya, segera Aira menunjuk tembok lusuh yang tampak banyak bercak darah. Kebanyakan sudah menghitam, namun satu yang terlihat masih berwarna merah mencolok seperti warna darah yang kau lihat saat orang terluka.
"Ayo ikuti jejaknya."
Mereka berjalan perlahan, menelusuri lorong gelap yang sepanjang jalannya tercium bau darah menyeruak. Beberapa langkah kemudian, muncul kembali ruang dalam ruangan. Perlahan Aira bergerak mendekat, mencoba melihat apa yang ada di dalamnya.
"Astaga!" Gadis itu bergerak mundur, memeluk wanita yang sedari tadi bersedia menuntunnya, tubuhnya bergetar ketakutan.
"Itu mayat …," ucap Aira sembari menundukkan pandangan, matanya tak berani menatap mayat-mayat yang terlihat mati secara tragis itu. Kirandhya menoleh, tampaknya ia mencoba menahan diri entah kenapa. "Hey, bukankah itu pamanmu?" Tunjuk Kirandhya.
Sial, ia bahkan tak menyadari bahwa sejak tadi suara Yudha sudah menghilang bagai tertelan bumi. Ternyata keadaannya sudah begitu tragis sekarang, terdapat sebuah sayatan di lehernya, tepat pada jalur pernapasan. Aira menggeram, tangannya mengepal menandakan bahwa dirinya tak terima sang paman dibunuh sebegini menyedihkannya.
Ia mencoba untuk kembali menatap ke sisi lain ruangan, pandangan kaburnya mulai menilik siapa yang ia yakini korban pembunuhan itu. "Schaefer, Ulger, Bardolf, Alden, Garrick, Yoseph," gumamnya setelah netra berhasil menangkap rupa yang ia kenali.
"Itu siapa?" Kirandhya yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Aira merasa bingung mengapa gadis itu begitu tahu siapa mayat-mayat di hadapan mereka. "Sejak beberapa waktu lalu, beberapa mahasiswa di kampus hilang secara misterius, mereka sudah lama menghilang. Itu kawan-kawanku," jelas Aira sembari menatap sendu jasad penuh luka itu.
"Aneh. Kenapa temanmu bisa sampai ke sini? Ah, coba kau urutkan inisial mayat-mayat itu. Kupikir ada yang janggal di sini," ujar Kirandhya mencoba mencari jalan keluar dari semua keanehan ini. Aira berpikir sejenak, tiba-tiba gadis itu bersuara nyaring, "SUBAGY—"
"A, tepat sekali, gadis pintar. Kau adalah korban terakhir untuk melengkapi namaku." Sebuah suara yang sangat ia kenali terdengar dari belakang. Mereka segera menoleh, tampak seorang pria berumur yang menatap keji, tatapan seorang psikopat yang berhasil menemukan mangsanya.
Gadis itu tersentak, berlari menjauh, tangan kanannya menunjuk sang pria yang selama ini ia sebut dosen panutannya. "Diam di sana, jangan mendekat," ujarnya dengan suara bergetar ketakutan. Sementara Kirandhya mulai bergerak mundur, mencoba menjauh dari dua insan yang tengah beradu pandang.
"Hey, mendekatlah, gadis manis. Selama ini kau lelah dengan hidupmu, bukan? Sebaiknya kau akhiri saja hidupmu hari ini." Subagya bergerak maju disertai tangannya yang sudah menyiapkan pisau tajam. Oh, itu baru saja diasah.
Aira berlari menghindar, tangannya merogoh kantung celana yang tersimpan sebuah ponsel di sana. "Argh, bodoh! Tak ada yang bisa aku hubungi," kesalnya seraya kembali menyimpan benda pipih itu ke tempat asal.
Dengan berani, ia mencoba menghapus jiwa pengecutnya dalam diri, dengan ajaibnya ketakutan itu lebur begitu saja. "Tua bangka, kenapa kau tak pergi ke rumah sakit jiwa? Kurasa kau sakit, pria tua harus duduk diam di rumah, bukan banyak tingkah sepertimu, sekali kutendang saja tulang rusukmu, hancur semua," ucapnya sarkastik, membuat Subagya menggeram marah, semakin dekat mata pisau itu dengan gadis di hadapannya.
Dengan gerakan cepat, ia menahan tangan kekar itu dan menarik seraya memutar pergelangan tangannya, membuat ia mengerang kesakitan. Tanpa sadar, tangan kirinya yang bebas mulai mengeluarkan pistol yang sedari tadi ia sembunyikan di kantung celananya. "Kau pikir aku bodoh, huh?"
Aira terpaku, jantungnya berdegup kencang. Subagya mulai berancang-ancang untuk menarik pelatuk, tanpa menyadari seorang wanita bernetra gelap itu menatap dua mangsa di hadapannya secara mengerikan dari belakang, warna merah darah mulai terukir pada kedua bola mata indahnya. Sebelum ia berhasil menarik pelatuk, Kirandhya mencengkram leher mangsanya dengan gerakan secepat kilat, menggigitnya dan menimbulkan teriakan kesakitan. Dirinya tampak tak peduli bahkan ketika pria itu mulai kehabisan darah. Sementara di ujung sana, Aira bergerak mundur dan menjauh dari tempat sang vampire itu memangsa.
Ya Tuhan ….
Komentar
Posting Komentar